Luapan, emosi? mungkin
Hari-hari yang kita dijalani pasti selalu mengandung pelajaran hidup,
entah itu baru maupun sebuah pengingat yang sama. Dalam renungan, hati sering
berbisik. Mengutarakan sebuah pernyataan. Untuk saya yang masih belum berani
mengutarakan pendapat saya secara langsung, maka jalan menulis atau memendam
dalam hati dan fikiranlah yang sering saya pilih.
Kehidupan sering mengatakan pada saya, bahwa tak peduli seluas apapun
ilmu seseorang. Karena dalam hal akhlaq belum tentu orang yang luas ilmunya,
lebh baik daripada orang yang sedikit ilmunya, namun baik dalam pengamalannya. Sejatinya saya menyaksikan, betapa banyak orang-orang yang merasa memiliki ilmu
luas menjadi pribadi yang sombong dan tak mau menerima nasihat. Bahkan sering
menghakimi orang layaknya dia adalah Tuhan bagi orang yang di hakiminya. Saya menyatakan
seperti itu bukan berarti saya terbebas dari sifat seperti itu, saya yakin saya
pun pernah berlaku seperti itu dan berharap Allah melindungi saya dari melakukan
kesalahan yang sama.
Sungguh saya tidak menganjurkan diri saya ataupun orang lain untuk
menjadi orang yang memiliki sedikit ilmu saja. Sungguh tidak. Saya sangat senang
melihat orang-orang yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, hal yang dapat
membuat saya terkagum-kagum takjub akan luar biasanya Allah menciptakan akal
manusia. Ada kalimat seorang guru yang bisa mewakili perasaan saya, kalimat
beliau sangat berkesan “ ilmu itu adalah sesuatu yang menyatu dalam diri,
mengalir keseluruh tubuh”. Hingga akhirnya saya bertambah faham tentang makna
kalimat itu lewat kalimat dari seorang ulama bernama Fudhail ibn Iyadh “
seseorang yang berilmu tidak dikatakan beranjak dari kebodohannya hingga ia
mengamalkan ilmunya” sangat indah sekali. Menjadi pengingat sekaligus teguran
bagi saya yang sering khilaf.
Saat ini saya mulai mengerti, mengapa orang yang berilmu namun banyak
mengingkari ilmunya akan mendapat siksa lebih dahulu daripada orang kafir. Saya
mencoba mengambil kesimpulan akan hal itu, betapa banyak pribadi yang merasa
dirinya berilmu memilih sombong dan membodohkan pribadi yang lain. Betapa banyak
pribadi yang merasa berilmu tidak mau mendengarkan nasihat dari pribadi yang ia
anggap tidak lebih baik, karena dengan PD-nya jika dinasihati akan menjawab “
gue juga udah tau, gue lebih tau, gak usah sok nasihatin gue”. Betapa banyak pribadi
yang merasa berilmu, namun dengan ilmu itu menipu dan menyakiti. Na’udzubillahi
min dzalik.
Jujur saya pernah tidak menyukai orang-orang yang pandai berceramah,
karena hati terlanjur telah banyak dikecewakan. Bagaikan cermin yang berbeda
kedua sisinya. Ilmu sangat banyak, bicara sangat pandai, pujianpun datang
berbondong-bondong, namun semua itu berbanding terbalik dengan real
kehidupannya di luar ceramah. Saya lebih senang mendengar kalimat-kalimat
nasihat dari orang-orang yang dianggap biasa, namun saya banyak sekali
mendapati nasihat-nasihat tulus nan indah dari mulut mereka. Mereka memang
tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, tidak terlalu memahami ajaran Tuhan,
namun banyak dari mereka yang membuka hati saya dalam menyikapi kehidupan. Bukankah
Rasulullah saw pun telah mengingatkan, “ambilah nasihat walaupun dari seekor
hewan” di tambah lagi dengan kalimat khalifah Ali “ ambilah nasihat walau dari
anak kecil” suatu pengingat yang membuka pemahaman saya, bahwa dalam menerima
nasihat tidak perlu harus dari orang yang lebih tua, lebih cerdas, lebih sukses
atau lebih-lebih yang lain. Karena nyatanya, banyak kalimat anak-anak kecil
yang dapat menjadi pengingat bagi saya, banyak nasihat-nasihat pribadi-pribadi
yang di anggap biasa namun sangat bijak sekali nasihat yang diberikan. Polos,
ikhlash, dengan rangkaian kata yang langsung menyentuh hati, yang langsung
membuat hati berbicara, “saya tidak pernah lebih baik daripada mereka dan tidak
boleh merasa lebih baik dari sapapun dalam hal ini”. Ada satu hal yang sampai
saat ini, saya masih belum mau menerima nasihat dari pribadi yang berilmu luas,
pandai bicara, tapi bullshit semua. Dalam hal ini saya salah, karena seharusnya
saya mendengarkan nasihat meski dari pribadi seperti itu. Maaf, saya agak emosi
kalau sudah menyentuh hal ini.
Saya tutup tulisan ini, dengan kalimat “ bencana terbesar dalam hidup adalah
ketika sudah tidak ada lagi yang mau menasihati kita, entah karena takut
ataupun lelah dengan tingkah kita”.
Bekasi, 12 Juli 2015
Melalui tulisan, aku bicara
Komentar
Posting Komentar