Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam Kontemporer




   A.    Persamaan Diantara Pemikiran Iqtishoduna, Mainstream, dan Alternatif-Kritis
Secara asasnya, ketiga pemikiran itu mempunyai pebedaan yang besar di dalam pola pemikiran . Mazhab Iqtishoduna dikritik oleh pemikiran Mainstream. Manakala aliran alternative-kritis mengkritik kedua-duanya. Secara jelas, kritikan dan komentar menunjukkan perbedaan yang mengungguli berbanding persamaan. Akan tetapi, beberapa persamaan antara pemikiran telah dikenal pasti.
Pertama, tujuan ketiga-tiga pemikirannya yaitu, semua sarjana yang ditampilkan dalam studi ini menekankan pentingnya membebaskan ekonomi islam (dan para ahli ekonominya)  dari pandangan barat, sekalipun mereka tampil dengan alternative yang berbeda. Semua menyatakan sama-sama memakai pandangan tauhidi yang sama menundukkan kegiatan-kegiatan ekonomi pada nilai keagamaan dan etika islam.[1]
Persamaan yang kedua adalah sumber utama dalam setiap pemikiran. Mereka bersetuju bahawa al-quran dan Sunnah menjadi sumber nilai islam dan norma kegiatan ekonomi. Mereka juga setuju bahawa masalah-masalah ekonomi kontemporer membutuhkan pemecahan baru melalui ijtihad sekalipun akan terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad[2]. Kesimpulannya, tokoh pemikiran menggunakan sumber yang sama iaitu al-quran dan assunnah, namun mereka berbeda dalam ijtihad dan penafsiran.
Sebagai contoh. Tokoh pemikiran Iqtishoduna, Baqir as-Sadr menolak penyataan masalah ekonomi muncul kerana adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara sumberdaya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia yang tidak terbatas dengan hujah dalil dari al-quran surah al-qamar ayat 49.[3]   Manakala pemikiran  Mainstream menyatakan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS: Al-Baqarah 2: 155).
Hasil sumber utama yang sama yaitu dari al-quran dan Sunnah, maka beberapa perkara merupakan sama pada dasar, dan berbeza dalam pendetilan. Persamaan yang ketiga adalah kesemua berssetuju dengan praktek zakat dan larangan riba. Abdul Manan (tokoh pemikiran Mainstream) menyatakan zakat adalah poros dan pusat keuangan negara Islami. Zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi[4]. Al-Baqir (Tokoh Iqtishoduna) berpandangan zakat merupakan kewajiban negara. Beliau juga membahas khums, Fay  dan  anfal.[5]
Dalam larangan riba, Kuran Timur (Pemikiran alternative-Kritis) menyatakan tujuan larangan riba adalah menghalang dari membahayakan masyarakat dalam bidang keuangan.[6] Manakala al-Baqir Sadr, pembahsan larangan riba hanyalah terbatas pada mengenai bunga dan modal uang.[7]
Jadi kesimpulan dari ketiga pemikiran itu mempunyai pebedaan yang besar di dalam pola pemikiran, Kritikan dan komentar menunjukkan perbedaan yang mengungguli berbanding persamaan. Akan tetapi, beberapa persamaan antara pemikiran telah dikenal pasti iaitu kesemua pemikiran mempunya tujuan yang sama, mereka menggunakan sumber yang sama dan larangan riba dan praktek zakat. Persamaan ini hanya pada fundamental sahaja, perbedaan pada penafsiran dan prakteknya.
B.     Perbedaan Pemikiran Para Tokoh
Apabila ada suatu kesamaan maka disitu pula perbedaan ada. Perbedaan yang terjadi diantara pemikiran para tokoh pemikir ekonomi islam ini dikarenakan perbedaan dalam penafsiran nash dan keadaan lingkungan sosial diantara mereka. Berikut beberapa poin yang diutarakan oleh Aslam Haneef tentang perbedaan pemikiran para tokoh[8]:
1.      Tanggung jawab ijtihad
Pemikir madzhab iqtishoduna menempatkan tanggung jawab ijtihad di tangan para mujtahid atau ulama. Sedangkan Naqvi dan mannan menempatkan (sampai batas tertentu) pada ahli ekonomi yang terdidik.
Melihat perbedaan tersebut apabila dilihat sekilas akan muncul persepsi bahwa pendapat Naqvi dan Mannan  merujuk pada pemberian urusan pada ahlinya. Karena seorang ulama belum tentu faham perkara ekonomi. Namun, simpulan ini tidak pula dapat dibenarkan. Karena bisa jadi ulama yang dimaksud baqr dan teleghani adalah ulama yang faham perkara ekonomi pula. Mengingat basic keduanya bukan dari dunia ilmu ekonomi.
2.      Konsep khilafah dan implikasinya pada kepemilikan.
Meski Mannan, shiddiqi dan Kahf mengakui hak masyarakat harus diutamakan di atas hak individu (swasta) namun mereka tidak menafi-kan hak mereka dalam kepemilikan berikut tanggung jawab atas harta pada pihak lain, yang akhirnya pada Allah Swt. Naqvi, teleghani dan Sadr memandang kepemilikan kekayaan oleh umum dan individu sebagai norma islami, dengan memberi mayoritas hak pengaturan oleh wali-e amr.
Perbedaan dari kedua pendapat diatas adalah keluasan hak seseorang dalam menggunakan sumber daya alam. Karena semua pemikir ekonomi islam sepakat bahwa pemilik sebenarnya atas segalanya adalah Allah. Maka dalam mendapatkan harta serta menggunakan hartanya harus sesuai koridor yang ditunjukan syari'ah.
3.      Distribusi
Naqvin menuturkan perlunya pembatasan kekayaan swasta serta distribusi kekayaan awal (initial wealth) atau sumber daya alam secara besar-besaran. Karena sumber daya alam itu dimiliki oleh masyarakat dan individu hanya boleh memanfaatkannya sebatas kapasitas keperluan (isn't loose control exploitation). Pemikir seperti Mannan, siddiqi tidak terlalu membahas tentang hal ini. Sementara Teleghani dan Sadr memandang ditribusi di dalam kendala etika dan khilafah manusia. Oleh karenanya sumber daya alam (terutama tanah) harus didistribusikan kepada yang mau mengolahnya dan dengan demikian mendapatkan hak atas itu.
Berkenaan Upah minimum pun terdapat perbedaan. Naqvi dengan pendapat kontroversialnya menuturkan harus adanya kesamarataan pendapatan. Sedangkan Mannan dan Shiddiqi berpendapat negara harus menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Jua mereka tidak menolak akan adanya perbedaan pendapatan karena adanya perbedaan kemampuan. Namun mereka tidak menyetujui adanya ketimpangan yang besar dalam pendapatan. Sehingga setiap islamic man harus menunaikan kewajibannya mendistribusikan harta melalui zakat dan pajak. Setelah semua itu dilaksanakan, urusan akan harta diserahkan pada si individu.
Teleghani dan Sadr berpendapat perlunya pemberian kebutuhan dasar bagi semua anggota masyarakat dan daripada membahas cara-cara mengurangi pendapatan kaum kaya, mereka melihat di dalam Islam keharusan mengurangi pengeluaran berlebihan atau pengeluaran mubadzir.
Ada tiga perbedaan pendapat dalam masalah upah minimum atau pendapatan. Yang pada intinya semua menginginkan tiadanya ketimpangan ekonomi diantara masyarakat. Meski berbeda-beda pendapatnya.
4.      Pengambilan keputusan dan Alokasi Sumber Daya[9]
Naqvi berpendapat bahwa pemerintah bukan saja sebagai pengatur dan pengawas kegiatan ekonomi, melainkan juga peserta langsung dalam produksi barang-barang modal dan sampai batas tertentu pada barang konsumsi. Namun bukan berarti naqvi tetap memberikan hak kepada masyarakat. Menurutnya ini sejalan dengan al-'adl wa al-ihsan.
Teleghan dan Sadr terlihat mengambil jarak dalam persoalan kekuatan pasar dan peranan negara ini. Kedua ahli ini tidak mengutuk kekuatan itu sendiri, melainkan menolak untuk menerima sistem pasar seperti yang dijumpai dalam sistem ekonomi kapitalis. Keduanya mengomentari dan membandingkan kapitalisme dan sosialisme sebagai usaha untuk menunjukkan suatu posisi tidak ke kiri maupun ke kanan. Negara mereka pandang suatu wuujud kepercayaan Allah Swt. Jadi, mereka berdua itu mengusulkan suatu fungsi negara yang lebih luas


[1] Aslam haneef, Pemikiran ekonomi islam kontemporer : analisis komperatif terpilih,(Jakarta utara, PT Rajagrafindo Persada, 2010 ) hal 156
[2] ibid
[3] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok, Gramata publishing, 2010) hal 288
[4] Abdul Manan, Teori dan Praktek ekonomi Islam, penterjemah : Drs M. Nasangin (Yogyakarta, PT dana Bhakti Prima Yasa, 1997) hlm 256
[5] Aslam haneef, Pemikiran ekonomi islam kontemporer : analisis komperatif terpilih,(Jakarta utara, PT Rajagrafindo Persada, 2010 ) hlm 140
[6] Kuran Timur, Islamic economics and the islamic sub economics, (Auntumn, 1955) vol 9, hlm 156
[7] Aslam haneef, Op. Cit.hlm 140
[8] Mohammed Aslam Haneef, diterjemahkan oleh Suherman Rosyidi. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer Analisis Komparatif Terpilih, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. Hlm.155-160
[9] Ibid, Hlm. 165-166

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)