Terhormat
Banyak hal yang belakangan ini menarik perhatian saya, mungkin bagi sebagian orang hal yang membuat saya tertarik ini adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun, tidak bagi saya. Kawan, saya memilik orang yang saya kagumi salah satunya sosok tetangga saya, yang sering dipanggil MPO ECIH. Mungkin usianya sekitar 30 tahunan, namun kebijaksanaannya melampaui usianya. Setidaknya itu persepsi saya sejauh apa yang saya ketahui dari Mpo Ecih. Baru saja tadi pagi, saya berpapasan dengan Mpo Ecih yang habis beli sarapan tuk suaminya. Dalam benak saya, kelak saya akan menjadi istri yang seperti apa ya. Yang saya tahu Mpo Ecih bangun sekitar jam 3 pagi, kemudian langsung sholat, beres-beres rumah, nyuci,ngepel dll. Kenapa harus sepagi itu? Ya, karena Mpo Ecih juga harus membantu mencari nafkah dengan bantu-bantu di rumah bu Komar di siang harinya.
Ibu saya juga sering meminta bantuan Mpo Ecih, saya salut dengan
Mpo Ecih ang ikhlash dan sabar. Meski Mpo Ecih berhak meminta ujrah atas
pekerjaannya, mencuci baju dan setrika. Tapi, Mpo Ecih memuliakan gurunya (ibu
saya mengajar Mpo Ecih), setau saya Mpo Ecih nggak pernah minta ujrahnya dalam
waktu tertentu. Alhamdulillah ibu saya pun nggak pernah lupa untuk memberi hak
Mpo Ecih.
Mpo Ecih giat sholat tahajjud meski rutinitasnya sangat melelahkan.
Harus kerja dari pagi, siang, sore dan malam. Hal yang sungguh melelahkan. Tapi,
nggak pernah mpo ecih absen ngaji kecuali sakit. Terlebih Mpo Ecih selalu tepat
waktu kalau sholat. Saya benar-benar takjub sama Mpo Ecih.
Tentang ketaatan ibadah, tentang kebijaksanaan, tentang kerendahan
hati, tentang keikhlasan tidak dilandaskan atas tingginya jenjang pendidikan
yang ditempuh, tidak pula dilandaskan penghormatan orang lain atas diri kita.
Mpo Ecih sebagai paradoks yang diam-diam saya kagumi, dan saya jadikan panutan.
Mpo Ecih benar-benar mengamalkan ilmunya.
Hampir saya lupa, tadi malam saya sungut-sungutan sendiri, kesal
dengan gilanya penegakkan hukum di negeri ini dan pemerintahnya. Bu Tijah kalau
nggak salah, istri dari Almarhum pak Salim Kancil mengeluarkan pernyataan yang
mulia. Bu Tijah menyampaikan bahwa anak-anak dari pelaku pembunuhan suaminya
tetap harus sekolah, sekolah itu penting, yang salah ayah mereka, mereka masih
anak-anak nggak tahu apa-apa. Keikhlasan bu Tijah ini sekali lagi menjadi
pelajaran berharga bagi saya. Bijaksana sekali bu Tijah, karena saya bayangkan
jika itu saya, saya akan marah ke anak cucu si pelaku mungkin. Terlebih kesadisan
pelaku pembunuhan dan penegak hukum serta pemerintah yang nggak kalah sadis,
setidaknya kalau saya pasti akan mencari pelampiasan. Tapi, bu Tijah
mengajarkan saya hal yang luar biasa. Satu hal lagi, kalau hutang beras yang
bayarnya beras nggak bisa singkong, orang butuhnya beras. Begitu juga nyawa. Satu
kalimat pernyataan bu Tijah yang menuntut keadilan, sederhana...namun sulit
sekali penegak hukum yang katanya sekolah tinggi-tinggi itu untuk mengerti hal
ini. Mereka hanya tahu namun nggak ngerti sama sekali. Iblis pun kalah sadis dengan mereka.
~Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli
?!
W.T
Komentar
Posting Komentar