Bid'ah dan Toleransi antar Muslim (Bid'ah and Tolerance between Muslim)


Alhamdulillah sudah dekat dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan kita semua senantiasa menjadi hamba yang terus memeperbaiki diri. Aamiin.

Sebelum bulan Sya’ban ini ada bulan Rajab, yang mana terdapat satu tanggal tepat terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj yakni tanggal 21 Rajab. Sampai hari ini meski sudah memasuki pertengahan bulan Sya’ban masih ada saudara seiman yang memperingati Isra Mi’raj. Hmm..Hari ini khususnya ada banyak sekali BC-an tentang pertengahan bulan Sya’ban. Mulai tentang ditutupnya buku amal, keutamaan sholat tasbih, sampai pesan maaf-maafan dan nggak ketinggalan pesan bid’ahnya melakukan amalan di pertengahan sya’ban ini. Sama dengan bid’ahnya memperingati Maulid dan Isra Mi’raj, serta Dzikir setelah sholat dll. Jadi, akar masalahnya adalah bukan bid’ahnya. Tapi, klaim orang tentang bid’ah-bid’ah yang saya tuliskan adalah bid’ah yang diharamkan.

Bagaimana suatu kebaikan, kegiatan mengingat Allah dan Rasul-Nya disebut Haram?. Hal ini hanya akan membuat konflik internal antar Muslim. Yang terpenting adalah tidak menghukumi wajib ataupun sunnah dalam memperingati kegiatan-kegiatan tersebut. Karena memperingati Maulid, Isra Mi’raj adalah mubah. Termasuk dalam Bid’ah Hasanah. Kalau selama ini kita hanya mengenal satu Bid’ah, maka sekarang kita harus mengenal bahwa Bid’ah itu ada dua. Yakni Bid’ah Dholalah (buruk/sesat) dan Bid’ah Hasanah (baik).

Tidak semua hal baru itu buruk dan itu adalah hal yang harus kita pahami. Dalam ibadah semuanya sudah ditentukan Raka’at sholat shubuh itu dua. Haram hukumnya menambah atau mengurangi. Inilah yang dilarang. Maka memperbaharui ibadah yang memang sudah jelas hukumnya adalah dilarang karena dalam kaidah Ushul Fiqh dikatakan “ asal dari ibadah itu diperintahkan” “ الاصل فى العبادة مأمور”. Oleh karena itu saya sebut sebelumnya yang tidak boleh adalah menghukumi wajib maupun sunnah dalam peringatan Maulid maupun Isra Mi’raj. Perihal peringatan tersebut diisi dengan ibadah wajib dan sunnah itu tidak berimplikasi pada hukum “Memperingatinya”. Hukumnya terpisah. Terlalu gegabah mengklaim suatu kegiatan yang berisikan sholawat, memuji Allah dikatakan sesuatu yang haram dilaksanakan.

Saya mengutip satu bagian yang sangat menarik dari buku Fiqh Prioritas karya Syekh Yusuf Qardhawi. Beliau mengisahkan tentang Imam Hasan Al-Bana. Saya merasa takjub dengan tulisan ini. Benar-benar memberi pencerahan dalam menyikapi perbedaan pendapat. Berikut kutipannya:



***
          Imam Syahid Hasan al-Bana, memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam, ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme. Mereka menginginkan aqidah tanpa syari'ah, agama tanpa negara, kebenaran tanpa kekuatan, perdamaian --penyerahan diri—tanpa perjuangan, tetapi al-Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah dan syari'ah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, perdamaian dan perjuangan, al-Qur'an dan pedang.

Hasan al-Banna, berusaha dengan gigih memberikan penjelasan kepada ummat bahwa politik merupakan bagian dari Islam, dan sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu kewajibannya. Dia juga memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi muda Muslim yang istiqamah terhadap dirinya, Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya, dan Muhammad sebagai teladannya.

Generasi yang memahami Islam secara mendalam, memiliki iman yang kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain, yang mengamalkan ajaran itu dalam dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dia harus menyatukan ummat dan tidak memecah belahnya. Oleh sebab itu, dia tidak memunculkan isu-isu yang dapat memecah belah barisan kaum Muslimin, memecah belah kalimatnya, dan membagi-bagi manusia menjadi berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam pandangannya, ummat Islam harus disatukan dalam satu landasan Islam yang universal.

Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa kesadaran untuk itu telah ada sejak masa mudanya, yaitu ketika dia berusia awal dua puluhan. Dia berpendirian bahwa anak-anak ummat dapat disatukan pada landasan aqidah, syari'ah dan akhlak, serta dijauhkan dari perselisihan pendapat pada masalah-masalah furu'iyah yang tidak akan ada habis-habisnya. Adalah sebuah sudut masjid kecil tempat al-Banna, menyampaikan pelajaran-pelajarannya. Di situlah dia mengatakan,

"Inilah sudut yang kedua, yang dibangun oleh Haji Musthafa sebagai upaya pendekatan dirinya kepada Allah SWT. Di situ para pelajar menimba ilmu pengetahuan, belajar ayat-ayat Allah dan hikmah dengan penuh persaudaraan dan kejernihan hati."

Tidak lama kemudian, tersebarlah ke seluruh pelosok tentang adanya kegiatan belajar tersebut, yang disampaikan antara waktu Maghrib dan Isya'; kemudian setelah itu mereka dapat pergi ke warung kopi, sehingga banyak orang yang hendak mengikutinya. Di antara mereka ada orang-orang yang suka memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah, dan perkara-perkara yang dapat menimbulkan fitnah.

"Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang aneh, suasana pertengkaran, keributan, dan perpecahan. Saya melihat para pendengar dalam ceramah yang saya sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan mengambil tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya mulai ceramah, saya dikejutkan oleh satu pertanyaan, 'Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?' 

 Kemudian saya menjawabnya, 'Wahai saudaraku, saya kira Anda tidak hanya ingin bertanya kepadaku tentang masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku tentang masalah shalat, salam setelah adzan, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum,at, penggunaan kata sayyid untuk Rasulullah saw dalam tasyahhud, tentang nasib kedua orangtua Nabi saw, di manakah tempat mereka, di surga atau neraka? Dan juga tentang bacaan al-Qur'an yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia apakah pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? Juga pertemuan yang diadakan oleh para ahli tarikat, apakah itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT? Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar fitnah dan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat di antara mereka.' Karenanya, orang yang bertanya itu merasa heran, lalu dia berkata, 'Ya, saya menginginkan jawaban untuk semua pertanyaan itu.'" 

 Saya berkata kepada orang itu, "Aku bukanlah seorang ulama, akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal beberapa ayat al-Qur'an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum agama yang saya peroleh dari beberapa buku, dan aku berbaik hati mengajarkannya kepada orang banyak. Apabila engkau keluar bersama diriku untuk membicarakan masalah-masalah itu, maka sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini. Dan siapa yang berkata bahwa dia tidak tahu berarti dia telah memberikan fatwa. Jika kamu merasa tertarik terhadap apa yang aku katakan, dan melihat ada kebaikan di dalamnya, maka dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, dan apabila engkau hendak memperluas lagi pengetahuan itu, maka bertanyalah kepada ulama-ulama selain diriku yang memiliki kelebihan dan spesialisasi. Mereka mungkin dapat memberikan kepuasan yang engkau cari, sedangkan diriku ini tidak lain hanyalah penyampai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya."

Orang itu kemudian merasa terpukul dengan jawaban itu, dan tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia sampaikan. Begitulah cara yang sengaja saya lakukan dalam memberikan jawaban kepadanya, dengan berkelakar. Semua orang --atau kebanyakan --yang hadir pada pertemuan itu merasa puas hati dengan adanya penyelesaian seperti itu. Akan tetapi, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Saya berpaling ke arah mereka sambil berkata, "Wahai saudara-saudaraku, aku menyadari sepenuhnya kepada saudara kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang hadir di majelis ini. Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu, yaitu untuk mengetahui siapakah guru baru ini dan dari golongan manakah dia? Apakah dia termasuk golongan Syaikh Musa ataukah dari golongan Syaikh Abd al-Sami'? Sesungguhnya pengetahuan tersebut sama sekali tidak akan bermanfaat untuk kamu semua, karena kamu telah bergelimang dalam fitnah selama delapan puluh tahun, dan itu sudah cukup.

Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh kaum Muslimin selama ratusan tahun dan mereka hingga kini tetap berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita apabila kita saling mencintai dan bersatu, dan tidak suka kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah belah.

Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut, dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama, mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang baik, pengarahan yang menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang difardukan dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari masalah dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan satu tujuan yang hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar mencari kemenangan berpendapat. Dengan cara seperti itu kita dapat belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta, saling percaya, kesatuan dan keikhlasan. Saya juga berharap kamu semua dapat menerima pandangan saya ini, dan berjanji kepada saya untuk melakukan perkara di atas.

"Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali kita masih memegang janji setia antara kita, dan hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang mesti dilaksanakan."

Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung dalam suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat taufiq dari Allah. Suasana pada majelis itu semakin baik, karena setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk memantapkan persaudaraan dalam jiwa mereka. Di samping itu, masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak diperdalam dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di antara mereka. Cara seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam memberikan toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di antara kita. Saya sebutkan satu contoh yang sangat praktis, saya berkata kepada mereka,
 "Siapakah di antara kamu sekalian yang bermazhab Hanafi?" Kemudian ada salah seorang di antara mereka yang datang kepadaku.
Lalu aku berkata lagi, "Siapakah di antara kamu yang bermazhab Syafi'i?" Ada seseorang yang maju kepadaku.
Setelah itu aku berkata kepada mereka, "Aku akan shalat dan menjadi imam bagi kedua orang saudara kita ini.
Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab Hanafi?" Dia menjawab, "Aku diam dan tidak membacanya."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana engkau wahai kawan yang bermazhab Syafi'i?" Dia menjawab, "Aku harus membacanya."
Kemudian aku berkata lagi, "Setelah kita selesai shalat, maka bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi' i tentang shalat yang dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?"Dia menjawab, "Batal, karena dia tidak membaca surat al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu rukun shalat."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana pula pendapatmu wahai kawan yang bermazhab Hanafi tentang shalat yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi'i?" Dia menjawab, "Dia telah melakukan sesuatu yang makruh dan mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah pada saat seseorang menjadi ma'mum adalah makruh tahrimi."
Lalu aku berkata, "Apakah salah seorang di antara kamu berdua memungkiri yang lain?" Kedua orang itu menjawab, "Tidak."
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ, "Apakah kamu memungkiri salah seorang di antara mereka berdua?" Mereka menjawab, "Tidak."
Lalu aku berkata, "Subhanallah, kamu semua dapat diam dalam menghadapi masalah seperti ini, padahal ini adalah perkara yang berkaitan dengan batal dan sahnya shalat; pada saat yang sama kamu tidak dapat memberikan toleransi kepada orang yang dalam shalatnya membaca "Allahumma shalli ala Muhammad" atau "Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad" dalam tasyahud, serta menjadikannya sebagai bahan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat."

Metode seperti itu sangat berkesan, karena mereka dapat mempertimbangkan sikap sebagian orang atas sebagian yang lain, dan mengetahui bahwa agama Allah SWT sangat luas dan mudah, serta tidak ditentukan oleh pendapat satu orang atau satu kelompok. Semua amalan itu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada jamaah kaum Muslimin dan imam mereka, kalau mereka dianggap memiliki jamaah dan imam.
                                                                       

***
Subhanallah... saya tidak bisa berkomentar apa-apa lagi. Mudah-mudahan bermanfaat. Selanjutnya saya serahkan kepada teman-teman semua, apakah masih mau berdebat dan bertikai. Atau memilih saling menghargai satu sama lain dan bersatu.


                                                                                                   

Bekasi, Sabtu 15 Sya'ban 1437
dua hari menuju 21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)

Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam Kontemporer