BUS BIRU




Liburan kali ini agak berbeda, karena saya memiliki jadwal mengaji di lebak bulus setiap jum’at hingga minggu. Sore ini saya memutuskan pulang ke rumah. Berdiri tepat di bawah bayangan tiang listrik yang berdekatan dengan tiang pemberhentian bus. Meski sebenarnya, bus tidak akan tepat berhenti disana, karena terhalang oleh angkot-angkot nakal. Itu yang sering diucapkan oleh sopir dan kondektur bus biru. Mereka mungkin bisa dibilang berprasangka, tapi saya pun mengamini prasangka itu. Bagi para sopir angkot hak mereka harus lebih didahului dari pada hak pengendara lain. Setidaknya seperti itulah yang terlihat. Meski saya mencoba memahami mereka memiliki kewajiban setor, tak elok bila dengan hal itu membenarkan kenakalan mereka melanggar lalu lintas.

Pagi, siang, maupun sore sama. Pemandangan lamunan abang becak, OPTIC yang sepi, jajaran tukang ojek, klakson angkot yang seolah memanggil, selalu menemani saya menunggu bus biru. Terkadang saya memandangi abang-abang becak, kadang mereka tidur-tiduran, ngopi, ngerokok, jarang sekali saya melihat mereka mendapat penumpang. Sempat terlintas dipikiran saya, bagaimana jika abang becak berjualan dibecaknya sambil menunggu penumpang, mungkin akan lebih  produktif. Namun, inilah saya, yang saat ini baru sampai tahap berfikir dalam hati, belum sampai pada yang disebut act. Sore itu agak berbeda, karena saya ditemani buku Membuka Pintu Langit Karya Kiai gaol Musthofa Bishri sambil sesekali melihat jalan, takut-takut bus biru sudah lewat. Adik saya pernah bilang kiai yang akrab dipanggil Gus Mus ini seorang yang liberal. Tapi, saya tak mempersoalkan hal itu, saya menyukai karya beliau dan saya mengagumi beliau. Jikalau ada perbedaan pendapat, saya jadikan bahan renungan. Tak usah dibawa repot dan ikut-ikutan bilang liberal. Kebenaran kan tetap akan menjadi kebenaran siapapun yang meyampaikan. Toh, ilmu itu kan menyenangkan.

Alhamdulillah bus biru yang dinanti lebih cepat datang, mungkin sekitar lima belas menit setelah bus biru arah Ciputat-Tosari lewat. Biasanya saya bisa berdiri ditempat itu tiga puluh bahkan sampai satu jam. Benar, menunggu itu hal yang menyebalkan. Menunggu yang sudah pasti datang saja menyebalkan, apalagi yang tidak pasti ya. Minggu sore, penumpang bus biru arah Kp. Rambutan lenggang, tapi saya tetap tidak kebagian tempat duduk. Akhirnya saya ngegaya di sudut tempat kursi roda. Ternyata cukup keren dan nyaman membaca sambil berdiri disanggah besi-besi yang dingin karena AC. Kira-kira begitulah isi fikiran saya. Mambaca saat dalam perjalanan dan sendirian adalah satu keadaan yang ampuh bagi saya untuk menyelesaikan buku bacaan saya. Karena saya hanya akan tertunduk dan fokus dalam bacaan. Saya teringat sebuah perkataan ulama, “sebaik-baiknya teman duduk adalah buku”. Benar sekali, karena bagaimana mau berghibah dengan buku, atau bicara dengan buku?. Jadi selamat dari penyakit kebiasaan kalau sudah kumpul. Oh ya, malah sering saya mengharapkan macet, agar buku yang saya baca selesai dalam satu perjalanan. Ya Allah, tidak boleh seperti itu ya, nanti kalau ada yang sedang buru-buru bagaimana. Baiklah, saya tidak akan berharap seperti itu lagi. Maafkan saya para penumpang, pak sopir dan pak kondektur.

Berbatas maksimal kecepatan 50 km perjam, membuat bus biru ini nyaman selain karena ada pendinginnya juga. Ketika sampai di daerah lebak bulus, saya kaget. Bus biru mengerem tiba-tiba dan badan saya terlempar menambrak mba-mba berambut panjang yang berdiri di depan saya. Seluruh penumpang kaget. Semua yang berdiri hampir jatuh ke lantai bus, namun untungnya tertahan oleh tiang. Lucunya, tidak ada sumpah serapah atau dumelan dari penumpang seperti yang dulu sering saya dengar saat menaiki angkutan umum kopaja. Meski saya tidak tahu apa penyebab bus biru mengerem mendadak, tapi saya yakin bukan karena kesalahan pak sopir. Kurangnya kesadaran mengendara dan menaati lalu lintas membuat suasana jalan raya bak arena balap. Tak jarang membuat mengerem mendadak. Seorang ibu-ibu yang berdiri hendak turun di halte selanjutnya pun hampir jatuh. Untungnya ibu itu pegangan.

Jajaran kursi biru menjadi lebih lenggang, karena beberapa penumpang lain sudah transit di halte lebak bulus. Duduk di kursi biru tepat belakang sopir, membuat saya lebih nyaman. Bukan karena pak sopirnya tampan. Tapi, karena saya memang suka mojok. Hampir setiap naik bus biru saya duduk dibagian pojok entah bagian kanan maupun kiri. Begitu pula kalau berdiri, saya suka mojok dan deketin tiang. Selain karena saya kurang tinggi, juga lebih nyaman. Ya, mungkin kira-kira begitulah perasaan jiwa-jiwa yang hampa tanpa pegangan dan sandaran. Makanya banyak yang nggak tahan sendirian ya. Halaman demi halaman selesai saya baca, tak terasa sudah hampir sampai di Jalan Baru Kampung Rambutan. Jalan yang entah sejak kapan ada, dan tetap disebut baru. Kadang saya senyum-senyum sendiri kalau ingat hal itu. Handphone ditangan saya sudah siap memanggil ojek hijau. Ditempat biasa depan minimarket lebah, saya menunggu ojek hijau. Abang ojek yang tidak harus ditunggu lama. Entah kenapa, setiap saya berniat menyelesaikan buku bacaan, saya selalu mendapatkan ojek hijau yang hafal daerah yang saya tuju. Jadi, saya anteng menyelesaikan bacaan saya, sesekali melihat jalan yang saya lewati. And the end of this journey is….finally I finished read at home near 12 pm. Cause ip man hypnotize myself.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)

Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam Kontemporer