Analisis Sederhana Fatwa DSN MUI tentang Pariwisata Halal (No. 108/2016)
Penampakan catatan sayah di kelas. |
Saya tidak ingin membahas fatwa ini
dengan bahasa yang terlalu ilmiah. Jadi maafkan kalau ada prolognya. Anggap saja
saya sedang bercerita. Mudah-mudahan berfaedah yak. (‘o’)/
Seperti biasa hari senin siang adalah
jadwal kuliah yang sangat saya sukai. Karena bisa belajar menyelami dalamnya ilmu
pak Hasanuddin. Biasanya saya panggil beliau pak Hasan lope-lope. Sosok dosen
FSH yang sederhana, tidak terlalu tertarik dapat gelar ‘Prof’ dan ilmunya baru keluar
apabila ditanya. Ya…kalau mahasiswanya nggak kepo, suasana bakal jadi diem-dieman.
Khusus matkul Studi Fatwa Ekonomi Syariah ini, pak Hasan memberi kebebasan
untuk kelompok presentasi memilih fatwa yang ingin dibahas. Skripsi atau thesis
bahkan disertasi-pun dipersilahkan untuk di kritisi.
Siang ini, saya agak kecewa karena
kurang tertarik dengan fatwa yang dipilih. “kenapa harus fatwa tentang
pariwisata?!” kira-kira begitu gerutu saya. Eits, ternyata…bukan pak Hasan
namanya kalau tidak memberi informasi baru (ya..setidaknya untuk saya). Setidaknya
ada tiga orang penanya, ini kira-kira tambahan jawaban dari pak Hasan.
Fatwa ini dibuat karena permintaan
dari pak Rudi (kalau saya tak salah ingat), agar ada suatu acuan dalam
pelaksanaan pariwisata syariah. Bagaimana mencari rezeki yang baik dan halal dari
ranah pariwisata. Sehingga memang karena dibuat sebagai acuan, fatwa ini dibuat
sedemikian rupa agar usaha pariwisata yang dilakukan tidak melanggar syariah.
Pariwisata halal yang dimaksud fatwa
DSN terbagi atas empat objek, yaitu: Spa, Hotel, Restoran, dan Biro Perjalanan
Syariah. Hotel sendiri, biasanya dibagi menurut hilal (atau peringkat bintang).
Kalau hotel hilal satu, biasanya hanya menyediakan penunjuk arah kiblat atau
tidak ada musholla secara khusus. Sedangkan kalau hotel hilal dua, menyediakan
mushola secara terpisah (meski entah musholla-nya ada dimana) yang baik
pastinya tidak diletakkan dilantai yang sama dengan parkiran. Seperti hotel
Grand Alia, hotel langganan DSN, yang mushollanya ada di lantai tiga, sejajar
dengan ruang rapat. (kuy, kapan-kapan nginep disini) marketing*.
Restoran pun terbagi dua, Restoran
Halal dan Restoran Syariah. “Loh, apa bedanya?” ternyata beda saudara-saudara
kuh (saya baru tau). Restoran halal berarti, restoran tersebut menyediakan menu
yang telah tersertifikasi halal. Sedangkan restoran syariah, adalah restoran
yang menunya HALAL dan transaksi keuangan (pembayaran, dll) menggunakan lembaga
keuangan syariah. Sampai saat ini belum ada restoran syariah. Sementara untuk
Spa dan Biro Perjalanan, tidak terlalu dibahas. Intinya beliau belum pernah
lihat salon muslimah yang tutup gara-gara nggak laku. Jadi, jangan takut
berbisnis dengan jalan yang benar. Pun beliau belum pernah melihat salon
muslim, kenapa ya? Ko nggak ada?. Begitu pula tempat wisata yang memisahkan
antara laki-laki dan perempuan, laku keras. Percayalah, percayalah pelancong jaman
now banyak yang merindukan syariah (baik sadar maupun tidak).
Muncul satu pertanyaan, di Indonesia ini kan
penduduknya mayoritas muslim, tentu tidak sulit menemukan empat obejek
tersebut. Tapi, ya tapi. Masih kalah saing dengan Negara yang minoritas
muslimnya. Dan ternyata…
Pariwisata syariah yang berkembang di Negara non
muslim, berfokus pada Makanan, minuman halal, dan fasilitas sholat. Ini yang
sebenarnya dimaksud dalam “HALAL TOURISM” di dunia. Jadi, nggak yang
rumit-rumit. Sekedar penunjuk arah kiblat dan kedai-kedai dengan sertifikat
halal. Di Indonesia sendiri, memang bukan hal yang sulit untuk mendapat
fasilitas untuk sholat, maupun akomodasi halal. Tapi, coba jalan-jalan deh ke Pondok
Indah Mall misalnya. Disana sedikit sekali restoran yang bersertifikat halal. Tentu fasilitas ibadah yang tidak terawat menjadi
masalah utama juga.
Jadi, ya gitu…
Kalau kita berwisata halal, bukan
berarti kita akan terbebas dari pemandangan orang-orang yang berpakaian
layaknya fuqoro wal masakin apalagi wisata seperti pantai. Hanya saja
akses untuk mendapatkan akomodasi dan tempat sholat sudah tersedia. Jangankan
halal tourism di Negara yang minoritas muslim. Bahkan seperti di NTB pun, belum sampai pantainya saja, baru
sampai bandara. Sudah banyak melihat turis yang berpakaian, ya..begitulah.
Tantangan lain yaitu, di pemerintahan
Jokowi ini kementrian di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif yang semula
berwenang dalam pariwisata syariah ini, sudah dicabut kewenangannya. Sehingga bentuk-bentuk
kerjasama seperti sertifikasi untuk pemandu dan fasilitas pendukung pariwisata
syariah lainnya menjadi mandeg kembali.
Sebagai
penutup, kalau membaca fatwa DSN No 108 tahun 2016 tentang Pariwisata Syariah
tentu akan ada yang terlintas. Tidakkah fatwa ini justru akan menghambat pertumbuhan
pariwisata syariah di Indonesia?. Karena sebagaimana yang kita ketahui, salah
satu penyebab suatu destinasi wisata diminati adalah, dikarenakan turis dapat
melakukan aktifitas-aktifitas sebagaimana di negaranya. Tapi, sekali lagi pak
Hasan menyampaikan “Fatwa DSN tentang Pariwisata Syariah ini, memang dibuat
agar menjadi acuan untuk mendapat rezeki yang baik dan halal di bidang
pariwisata” bukan hanya tentang mendapat keuntungan materi semata. Mengapa harus
turis yang mempengaruhi kita? Bukan sebaliknya?. Seperti ketika turis ingin
memasuki masjid istiqlal, diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat, tanpa
pilih agama.
Salam,
Mudah-mudahan bermanfaat ^^
Komentar
Posting Komentar