9




Akhir-akhir ini agak sulit tuk mendapatkan nyamuk, setiap ku ayunkan tanganku “prok ! pakk ! tapss!” kurasa sudah cukup cekatan ku ayunkan tangan. Tapi, tetap saja ku gagal memburu nyamuk yang sudah gemuk sekalipun. Entah, kecepatanku yang berkurang atau nyamuknya yang tambah profesional. Mikir begitu aku jadi nyengir sendiri juga, sambil menarik selimut agar tidak digigit lagi oleh nyamuk-nyamuk profesional itu.

-Walau di dunia kita senang, tapi di akhirat belum tentu, di dunia ini tempat beramal, untuk selamat di akhirat-. Aku terbangun mendengar nada dering HP ku itu. Tanda ada yang menelfon. Aku sudah tau siapa yang menelfon, pasti ibuku. Karena ibu sudah kasih kabar akan datang pagi hari tuk menjenguk. Dengan suara agak parau ku ucap salam “assalamu’alaikum, iya bu” “wa’alaikumussalam, kamu jalan ke depan ya, ibu buru-buru” itu percakapan singkatnya. Dan aku hanya menjawab “iya bu”. Aku segera mencuci muka, pakai jaket dan tidak lupa rok hitamku. Tadinya si mau pakai celana panjang saja, tapi takut kena. Karena ibuku nggak ngebolehin anak perempuannya pakai celana panjang keluar. Dan ini jadi satu aturan yang kaya “wajib” dari nasab ibuku. Semua anak dan cucu perempuan nggak ada yang pakai celana panjang keluar. Dan hanya aku yang menculak dikit. Dikit ya, cuma dikit. Itu juga celana yang ku pakai nggak ketat. Hehe.

Ku lihat jam masih menunjukan pukul setengah enam pagi, ku kira gerbang kosan masih dikunci. Dan sudah siap kalau harus manjat. Tapi, alhamdulillah ternyata sudah dibuka. Dengan wajah yang masih amburadul ku jalan perlahan, karena masih lemas, mataku kurang jelas melihat jalan. Hal yang sering terjadi kalau magh ku sedang mampir. Ku perhatikan jalan, fokus pada mobil berwarna hitam. Hampir mendekati gapura, kulihat wajah kakak laki-lakiku dari mobil hitam itu. Aku sedikit kesal, kenapa dia harus ikut si. Aku menggerutu dalam hati. Om Yunus segera memutar arah mobilnya mendekatiku yang menunggu di sisi jalan. Aku kesal abangku ikut karena ia pernah bilang “kalau aku sering sakit karena keras hati”. Ini bukan sekali dua kali ia bilang gitu. Itu menyakitkan sekali. Hatiku ngejawab : Lah wong fir’aun aja supper keras hati tapi sejarah hidupnya sehat selalu. Makanya sampe ngaku Tuhan !. Kurasa setiap ku sakit dan kalau ia tahu, rasanya itu menambah penderitaan.

“jalan tuh jangan begitu, jangan suka dilemes-lemesin” ucap ibuku. Pandanganku datar, dan nggak menjawab apa-apa, aku hanya menyodorkan tanganku tuk salim. Kemudian ibu memberi ku sejumlah kertas ber-angka, kemarin sudah di transferkan sama kak Ridho ? tanya ibuku. Dan lagi, aku nggak bicara sama sekali. Aku hanya mengangguk dengan wajah datar. Di dalam mobil kulihat seluruh keluargaku, adikku sibuk bermain gadget tidak memperdulikan ku. Kakak perempuanku sedang menyusui anaknya, jadi waktu aku ingin salim agak sulit. Abang ku? aku malas membahasnya. Ibuku bertanya, mau pulang nggak? Aku hanya menggelengkan kepala.Yang pasti saat itu aku merasa ingin menangis. Kukira ibu akan datang menjengukku, masuk ke kamar kosan ku, bertanya bagaimana keadaan ku. Sepanjang perjalanan pulang ke kosan aku menunduk, menahan tangis. Selain memang untuk beberapa hal aku agak cengeng.

Sampai di ruang satu petak, aku terdiam. Merenung sejenak. Aku nggak mau terjebak dalam perasaan yang mungkin hanyalah keegoisan diri. Aku memang sedih, kenapa ibu begitu terburu-buru, ku tahu ibu mau kemana, berangkat dalam rangka apa. Kutahu. Pernikahan saudara. Dan karena sebuah pernikahan, ibu buru-buru saat jenguk anaknya yang sedang kurang sehat. Itu agak menyesakkan di hati. Aku coba bermuhasabah, dan kupikir ku layak mendapatkan ini. Karena sepanjang yang ku ingat, aku belum menjadi anak, adik maupun kakak yang baik dalam keluarga. Bahkan jika ku ditanya, apakah kamu suka dirimu? Tidak. Itu jawabanku.

Hatiku bicara, “akan sangat melelahkan menuntut suatu kesempurnaan. Penuntutan suatu kesempuranaan tanpa adanya upaya diri tuk perbaikan adalah keegoisan. Secara tidak langsung seperti menuntut orang lain tuk tidak melakukan kesalahan, menuntut orang lain untuk tidak menyakiti, menuntut orang lain berlaku layaknya malaikat. Namun diri sendiri terus melakukan hal yang salah dan lebih sering manyakiti. Bukankah akan lebih menyenangkan jika apa yang ada disyukuri. Toh, kamu juga bisa lihat wajah ibu yang merasa bersalah menjenguk kamu dengan cara seperti ini.”

Usai muhasabah, aku putuskan tuk mencuci baju. Yang sudah lama terbengkalai, karena kuliah dan sakit. Jadi kalau bahasa lebay nya sudah seperti gunung uhud. Aku bersyukur pagi ini Allah kembali mengingatkanku. Hatiku tenang. Meski cucian masih ada satu sesi lagi. hehe.

Oh ya, ada nasihat bagus yang ku dapat tadi malam,

Sewaktu ditanya apakah yang paling membingungkan di dunia ini?
Beliau menjawab : “Manusia”
Karena dia “Mengorbankan”
Kesehatannya “hanya demi uang”
Lalu dia “mengorbankan uang”nya
Demi “Kesehatan”
Lalu dia “sangat khawatir dengan masa depannya”
Sampai ia “tidak menikmati masa kini
Akhirnya ia tidak hidup di “masa depan” atau “masa kini”
Dia “hidup seakan-akan tidak akan mati”
Lalu dia mati tanpa benar-benar menikmati apa itu “hidup”

-Dalai Lama-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)

Tanya Ustadzah Halimah Part 1