Saya, Hujan, Hukum dan Menulis
Sore ini saya masih stay di kampus. Bukan
karena masih ada kelas atau kegiatan, tapi karena terjebak hujan. Hujan turun
cukup deras plus angin yang di extremisasi lagi sama kilat, sementara saya nggak
bawa payung jadi terpaksa harus bersabar nunggu keadaan sampai memungkinkan tuk
kembali ke kosan. Ngomong-ngomong hujan, sebenarnya ingin sekali rasanya
membiarkan badan terguyur air hujan yang pastinya bakal seger banget kerasanya.
Ada tapi lagi, karena saya bawa notebook, gak mungkin saya biarin notebook saya
ikut ujan-ujan.
Sederas hujan yang turun, begitu kiranya gambaran saya dengan apa yang sedang saya rasakan. Perasaan deg-degan Cuma gara-gara hari perlombaan tahfizh juz 30 tinggal 2 hari lagi. Kerasanya kecampur-campur. Bukan apa-apa, meskipun ini dibilang memalukan iya, mengingat usia dan sejarah saya mengaji. Seharusnya di usia sekarang ini, saya tidak ikut lomba tahfizh juz 30. Tapi, saya pun nggak bisa pungkiri, untuk juz 30 pun saya membutuhkan kerja keras agar berhasil mengulang hafalan sampai yakin. Berkali-kali saya latihan namun masih aja ada surat atau ayat yang tertukar. Ini salah satu sebab yang menjadi alasan saya tidak memakai surat ad-dhuha ke atas dalam sholat. Karena sudha sering jadi pabeulieut ke surat lain. Saya tahu ini adalah hal yang nggak bisa dibenarkan, bagaimanapun menjaga hafalan al-qur’an adalah hal yang wajib. Sehingga berusaha menggunakan dalam bacaan sholat adalah keharusan agar hafalan tidak hilang. Saya harap, usai perlombaan ini saya bisa menerapkan hafalan surat-surat ad-dhuha hingga an-naba dalam sholat saya secara continue. Aamiin.
Nggak seperti biasanya, jadwal saya
di hari Jum’at kali ini sampai sore. Ada pelatihan dari LBH atau lembaga
bantuan hukum free dari fakultas khusus tuk mahasiswa semester 3-7. Awalnya saya
mau balik ke kosan usai zhuhur, karena memang jadwal mata kuliah saya di hari
Jum’at hanya sampai pukul 10:40. Tapi,
saya kembali teringat pesan imam syafi’I tentang pelajar yang game over dengan
penatnya belajar. Saya benar-benar nggak mau menahan perihnya kebodohan. Mau nangis
rasanya kalau ingat nasihat itu. Selain itu saya teringat perjuangan ibu saya, hamper
tiap minggu saya pulang ke rumah. Saya ngerasa kaya penagih hutang, karena otomatis
kalau saya pulang ibu pasti memberi saya uang saku tuk satu minggu ke depan. Teringat
betapa merepotkannya saya, saya mengurungkan niat saya tuk pulang ke kosan
lebih awal. Toh, this is good opportunity for me. Saya jurusan Hukum Ekonomi
Syariah, jadi pasti butuh dengan pelatihan ini. Gratis pula, bodoh sekali kalau
saya sia-siakan hanya karena nafsu malas saya yang ngajakin pulang. Untuk ketetapan
hati yang Allah berikan tuk tetap ikut dalam pelatihan legal draft ini, saya
sangat bersyukur. ^^
Yang menjadi pembicara pelatihan
hari ini, pak Dedy, pak Alfitra dan pak Kamil Pasha. Mata saya berbinar-binar
terpesona dengan pemaparan materi dari pak Alfitra, wibawa beliau, cara bicara
dan keilmuannya benar-bnar menarik perhatian saya. Saya teringat pertama kali
bertemu beliau saya mata kuliah hukum perdata. Setelah beliau membicarakan
kontrak perkuliahan, kami semua bingung ko materi yang ditampilkan beliau di
slide adalah materi hukum pidana. Eit, ternyata beliau salah masuk kelas brow. (‘o’)/
dan setelah tau cara mengajar beliau yang banyak diminati mahasiswa, saya
semakin penasaran rasanya diajar oleh beliau. Dan ternyata benar, cara mengajar
beliau KAKKOI. Keren pisan. Saya harap di semester berikutnya saya
berkesempatan menikmati indahnya mata kuliah dibimbing beliau. Sosok beliau
menjadi sosok dosen idola kedua bagi saya, setelah pak Abdurrahman Dahlan. Saya
rasa saya termasuk mahasiswa unik aneh juga nyerempet. Karena sejauh ini saya
baru jatuh cinta dengan cara mengajar dosen. Bahkan bisa sedikkkit histeris
kalau ketemu dosennya. Terpesonaaa… padahal saya belum pernah kaya gini kalau
suka sama laki-laki yang seumur atau sedikit lebih senior diatas saya. Bagi saya
keilmuan adalah hal yang paling menarik hati saya. Kalau lihat, mendengar,
kumpul dengan orang-orang yang berilmu, rasanya bahagia tiada tara.hehe.
Ada hal menarik yang saya dapat dari
pelatihan ini, tentang betapa luar bisanya orang-orang yang berkiprah dalam
dunia bantuan hukum. Kendala-kendala yang dihadapi ternyata tidaklah sedikit. Mulai
dari dana, peraturan perundang-undangan tentang LBH, sertifikasi, akreditasi
dan bla-bla-bla yang lain yang bikin saya nggak habis pikir. Saya ngerasa,
PERMA yang ada seperti nggak niat untuk memberikan fasilitas keadilan bagi kaum
papa. Atau memang lebih tepatnya, ya benar-benar nggak niat. Pak Alfitra
bilang, apa yang diputuskan hakim itulah keadilan dalam hukum yang ada di
negeri ini. Bukan berdasarkan perasaan korban maupun terdakwa. Ini kenyataan
yang benar-benar menyesakkan, mengingat betapa banyak keadilan yang dihilangkan
demi uang.
Saya berharap bisa menjadi bagian
yang dapat bantu masyarakat dibidang hukum, saya ingin mencintai tentang hukum.
Sangat ingin. Meski saya tahu hal ini butuh adaptasi dan kerja keras. Mengingat
saya agak enek sama materi hukum positif. Oh ya, saya teringat kalimat almarhum
ayah “ kamu cocok jadi pengacara nak ^^”. Mungkin ini juga jadi penyebab kenapa
saya ada di jurusa hukum. Advokat ? OK ayah. (‘o’)/ Yoshh !!!
-FSH lantai 7 samping Musholla FAH
Komentar
Posting Komentar