SEKILAS PERTANYAAN MAINSTREAM SEPUTAR LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH




“Apa-apaan itu lembaga keuangan syariah!
Sama aja! Malah lebih parah!
Mahal pula!
Syariah cuma dijadiin kedok!”

 

Kira-kira begitulah yang sering diungkapkan nasabah yang bermaksud menggunakan jasa pembiayaan dari bank syariah, maupun yang sudah terkena sengketanya. Untuk itu saya ingin mencoba berbagi pengalaman saya, berdasarkan diskusi dengan orang perbankan dan nasabah, mulai dari dosen saya sendiri hingga keluhan driver ojek online. Saya teringat cerita dari sepupu saya berkenaan membedakan bank konven dan syariah, menurutnya bahkan di Mesir ketika ia menempuh s1 nya, pernyataan yang keluar adalah “sulit membedakan margin bank syariah dan bunga konven, sesulit ‘unta berubah jadi kuda’"

Belum lama saya mengikuti bedah buku “Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam” salah satu pembicaranya adalah direktur di bank syariah. Ketika ada peserta yang menyakan “bagaimana menghadapi pertanyaan apa perbedaan bunga bank konven dengan margin bank syariah? yang mana biasanya pembiayaan di bank syariah udahnya lebih mahal, ribet pula.

“ Fenomenanya begini, hukum jual beli. Beli murah, jual mahal. Beli mahal, jual lebih mahal lagi. Ini PR kita semua. Untuk lebih mudahnya saya beri contoh salah satu bank konven  di Indonesia, yaitu Bank BCA, punya produk tabungan Tahapan BCA. Kalau saldo dibawah satu juta, tidak dapat bunga. Malah kena charge perbulan. Jumlah total nasabah yang punya saldo dibawah satu juta, bisa mencapai triliunan. Kalau uang tersebut diputar kemudian diambil bunga 3,6% saja sudah berapa banyak keuntungan yang didapat? Bagaimana dengan Tahapan BCA syariah? Haqqul yaqin (dengan sangat yakin) BCA syariah akan lebih mahal. Karena transaksi nasabah mereka tidak sebanyak BCA konven. Ibarat beli seharga 6, tidak mungkin dijual 3,6” kurang lebih begitulah tanggapan dari narasumber yang praktisi bank syariah.

 Yang harus kita ingat adalah syariah atau tidaknya bank syariah, tidak bisa dilihat dari perbedaan harga. Ibarat ada dua penjual, yang satu agen dan penjual kedua masih pedagang kecil-kecilan. Maka atas suatu barang yang sama, ketika dijual pasti akan ada perbedaan harga.

Di tempat lain, dosen saya yang berprofesi sebagai hakim mengeluhkan dan menyatakan, betapa tidak syariahnya bank syariah. Awalnya saya tidak setuju dengan alasan dosen saya tersebut yang mengatakan hal itu dikarenakan dilihat dari segi lebih mahalnya pembiayaan di bank syariah. Namun, setelah beliau menceritakan lebih lanjut kasus yang ia tangani. Saya memahami mengapa beliau berpendapat seperti itu. Jadi begini, “ada seorang nasabah mengajukan KPR di bank syariah, dengan jangka waktu 10 tahun. Nilai pokoknya 500 juta dan kalau dihitung-hitung margin bank adalah 300 juta. Kemudian setelah berjalan lima tahun, nasabah mempunyai rezeki lebih sehingga bermaksud melunasi seluruh utang KPR nya. Berdasarkan perhitungan nasabah yang awam, kemungkinan sisa yang harus dibayar sekitar 300 juta. Namun, betapa kagetnya nasabah mendapati sisa utang yang harus dibayar sebesar 400 juta. Sehingga selama lima tahun pokok yang baru ia bayar adalah sebesar 100 juta.”

“Saya mengerti bank memiliki sistem perhitungan khusus, namun seharusnya selaku bank syariah harus ada keterbukaan. Sehingga nasabah tidak dirugikan” tutur pak dosen melanjutkan.

“Selain itu saat saya mengajukan pembiayaan dan meminta tabel sistem pembayaran di bank syariah, sulit sekali. Mereka berdalih aturan kantor melarang memberikan tabel sistem tersebut. Namun, dengan dalih konsumen memiliki hak atas itu, akhirnya saya diberi tabel tersebut.”

Hemat saya, kesalahan terletak pada sistem internal bank syariah tersebut secara khusus. Bukan keseluruhan bank syariah. Karena apabila mengikuti aturan prinsip keterbukaan bank syariah, tidak akan tidak aka nada kebijakan seperti itu. Saya sendiri masih menyayangkan praktik-praktik perbankan syariah yang ada, bahkan tidak jarang saya merasa tidak nyaman dengan lahirnya multi akad dan inovasi akad. Sebenarnya semua itu untuk kemaslahatan golongan yang mana?

Satu hal yang terpatri dalam benak saya. Benar adanya nasihat dari pak Oni syahroni, bahwa tidak elok apabila kita mengkritik namun tidak berkontribusi. Apalagi kritikkan dengan fokus dorongan pembubaran. Sementara lembaga keuangan syariah dengan segala perangkatnya ada di Indonesia setelah perjuangan yang tidak mudah dan tidak sebentar. Hingga saat ini perbankan syariah masih terus tahap pembenahan. Meski sampai kapan pun tidak akan mungkin sampai pada tahap sempurna. Namun, ada kaidah fikih berbunyi “apa yang tidak dapat dikerjakan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya”. Serta kita harus ingat bank syariah tidak terlepas dari oknum-oknum yang ingin menyalahi aturan syariah yang ada. Entah karena tidak faham maupun karena memang ingin melanggar. Dikarenakan nyatanya praktisi yang bekerja di bank syariah masih banyak yang tidak memahami syariah. Hal ini mengakibatkan banyak terjadi penyimpangan atas prinsip-prinsip syariah yang tertuang dalam fatwa DSN MUI. Sehingga apabila ingin menilai bank syariah itu sudah syariah atau belum, harus dilihat menyimpang atau tidaknya dengan fatwa dan perturan lainnya. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)

Tanya Ustadzah Halimah Part 1