Sebuah Proses
Hari ini selepas membaca surat yang
tak biasanya kubaca, aku melanjutkan niatku untuk melanjutkan buku baru yang
siang tadi sampai diantar setelah empat hari menunggu dari tanggal pemesanan. Mulutku
mengucapkan dengan cukup jelas kata perkata dari buku Rumah kertas karya Carlos
Maria, buku yang sudah lama sekali ingin ku baca. Tapi tidak dengan pikiranku,
seperti berjalan sendiri memikirkan hal yang lain. Panjang sekali
perjalanannya, sampai-sampai masuk tergambar dalam mimpiku. Sudah dua hari ini
aku tidur sambil berpikir. Lelah sekali rasanya.
Entah apa yang kualami ini mungkin
lebih tepat disebut sebagai perenungan. Banyak hal yang kurenungkan, meski kubukan
seorang pecinta buku-buku filsafat. Karena buku-buku jenis filsafat membuat
kantong ku lebih cepat mengering. Karena banyak kubelikan makanan pengganjal
perut. Cepat lapar kalau membaca buku yang banyak mengajak berpikir jauh.
Telingaku seperti sudah kebal, aku
melakukan banyak hal sekaligus. Mendengarkan musik kencang-kencang, earphone
kusumbatkan di kedua telingaku. Sambil mengerjakan tugas-tugas kuliah yang
seharusnya sudah rampung, ditambah pikiranku jalan-jalan. Aku tidak bisa fokus,
meski begitu tugas tetap selesai.
Sambil berjalan, sambil cuci tangan,
sambil buang hajat, sambil dandan, sambil pakai sepatu, seolah otakku lepas kontrol,
aku terus berpikir tanpa memilih tempat dan situasi. Sepersekian detik bisa
mengalihkan pikiranku. Berbagai macam hal ku pikirkan. Mulai dari skripsiku,
mata kuliah, kelola keuangan, penyesalan-penyesalan, hal-hal kurang penting dan
banyak lagi. Aku sudah lama sadar juga sebenarnya, aku memang tipe manusia pemikir.
Saat ini perenunganku diserbu dengan
kegundahan hati yang kecewa terhadap diri sendiri. Kutahu, aku bukanlah tipe
manusia yang memiliki tenaga yang banyak untuk marah dan tidak berbicara. Usai kejadian
biasanya aku langsung tergeletak sakit, tenagaku perlahan seperti lenyap. Aku
tidak bisa membentak orang. Kalau aku memaksa diri, meski tak sampai satu menit
ku membentak, akhirnya hanya akan membuat kesehatanku langsung memburuk
tiba-tiba. Kutahu, semua itu hanya akan membuatku tenggelam dalam rasa
bersalah, sepersekian detik setelah kejadian. Hati manusia cengeng ini
menyimpan banyak hal.
Tidak seperti biasanya, aku pulang
lebih cepat ke rumahku. Aku maju dua hari lebih awal dari niat. Tadinya ku baru
akan pulang ke rumah setelah belajar melukis bareng anak-anak Akar Seni
Ushuludin (ASUs). Hanya saja karena ingin menenangkan pikiran ku putuskan untuk
pulang usai kelas tadi pagi. Kudapati rumah sepi, badanku sudah loyo. Kuputuskan
untuk langsung istirahat. Terik matahari membuat kamar tanpa ventilasi terasa seperti
spa. Badanku seperti habis diguyur. Basah meski sudah memakai kipas angin.
Ibu pulang menjelang maghrib. Jadwal ibu
setiap hari kamis adalah mengajar di Jatinegara. Berangkat pagi pulang sore. Ku
sambut ibu di depan pintu. Sambil sedikit menggombal “wah, ibuku cantik banget
cokelat-cokelat”. Ibu tidak terlalu menghiraukan. Ku tak protes, mungkin ibu
masih marah denganku. Berkali-kali kucoba mengajak bicara, ibu me-reject.
Aku hanya pasrah, meski sedih “aku pantas dibeginikan”. Kusadar minggu lalu aku
salah.
Susunan kalimat buku karya Carlos
Maria, mengajak pikiranku mengingat dua sosok wanita yang dekat dengan ibuku. Keduanya
menjadi sosok yang “wah” dalam pandanganku. Mpok Ecih dan Teh Ida. Mereka melakukan
banyak hal untuk membantu ibu, baik saat ibu sehat maupun sakit. Membantu dalam
hal apapun, bahkan sering mendahulukan melaksanakan perintah ibu daripada
keluarganya. Mungkin ini bentuk nyata dari khidmatnya murid kepada gurunya. Dalam
hati, ku sering berdo’a “mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan bagi
kehidupan keduanya”.
Kalian tahu apa yang membuatku merasa
mereka lebih pantas disebut sebagai anak ibuku? Karena cinta mereka lebih
daripada cintaku secara pribadi terhadap ibu. Semua bisa dilihat dari bakti
keduanya. Aku yakin ini disebut cinta yang seperti pernah disinggung oleh
ustadzah Halimah Alaydrus. Cinta sejati adalah bukan mengahrapkan akan diberi
apa, namun tentang berusaha terus untuk memeri yang terbaik. Bukankah cinta itu
kata kerja?.
Ibuku seorang fighter yang sughooi
(keren) nan awesome. Jadi, geraknya lincah tidak sepertiku. Ku sering
berharap bisa dianugerahi fisik yang kuat seperti ibu. Sementara itu, mpok Ecih dan teh Ida pun melakukan banyak hal.
Mulai dari membantu ke pasar, memasak, bersih-bersih rumah, cuci-gosok, jaga
warung, mengajar, menemani ibu saat sakit, dan mereka pun sangat menghormati
anak-anak ibu. Tidak pernah memanggil aku dan saudara-saudaraku dengan nama
langsung dan selalu ada ketika dibutuhkan. Aku tidak pernah berani mengatakan
keduanya adalah orang lain atau menyebut dengan kalimat merendahkan. Bagiku keduanya
adalah panutan. Jadi, tak jarang kupanggil keduanya presiden. Ibu memang
memberi gaji setiap bulan kepada keduanya. Tapi, sungguh sangat terlihat jelas
tujuan keduanya melakukan banyak hal untuk membantu ibuku adalah dengan niat
ibadah.
Dari hal ini kumenyadari sesuatu, tentang
mengamalkan ilmu tidak ditentukan dari seberapa banyak ilmu yang mengendap
dalam pikiran. Namun, tentang seberapa jernih hati seseorang, pun seberapa kuat
keinginan untuk mengamalkannya yang kemudian Allah mengizinkan dalam pengamalan.
Begitu ringan dalam membantu siapapun tanpa pilih. Mpok Ecih dan teh Ida
mengajarkan untuk membantu siapapun tanpa pilih, kenal maupun belum kenal. Tanpa
pamrih, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan untuk membantu. Tentu perenunganku bukan tanpa
sebab. Aku belum bisa menjadi seperti keduanya. Masih terus meniti diri
mudah-mudahan sampai. Sedih, sedih sekali. Namun aku teringat sesuatu. “Saat
diri belum mampu untuk menjadi pribadi yang baik, maka setidaknya cintailah
orang yang mampu berbuat baik”.
“Aku
yang menyukai kesendirian, terus berharap tidak melukai diri sendiri maupun
makhluk
lain”
Udara Bekasi yang tadinya lumayan panas, menjadi sejuk
setelah hujan turun. Hujan seandainya boleh, kuingin bertukar posisi.
Bekasi,
07 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar