Relevansi Hasan dan Qabih dengan Fiqh Kontemporer




A.    Keistimewan dan Kedudukan Kaidah Fiqih dalam Hukum Syara’.
1.      Keistimewaan Kaidah Fiqih / Qawaid Fiqhiyyah
Kita yang hidup pada masa kini, bahkan disetiap masa, selalu membutuhkan seorang ahli hukum (faqih) dengan kredibilitas tinggi, yang menguasai metode-metode ijtihad dan memiliki naluri hukum sehingga dapat melakukan istinbat hukum syari dari dalil dalilnya, terutama dalam masalah-masalah kontemporer dan aktual yang sangat banyak dan terus berkembang, bahkan nyaris tak pernah berakhir dan berhenti pada satu titik.[1]
Kaidah-kaidah fiqih atau qawaid fiqhiyyah merupakan instrumen yang membantu seorang faqih untuk memahami masalah-masalah partikular (al juz’iyat). Masalah-masalah yang mirip dan serupa (al ashbah wa an nazha’ir) di dalam seluruh pokok bahasan fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang-cabang. Dari sini, seorang pengkaji hukum islam atau faqih tidak dapat memahami segala sisi kajian hukum islam kecuali jika ia mempelajari qawa’id fiqhiyah. Semakin tinggi tingkat prestisenya akan semakin naik dan rangkingnya pun akan semakin meningkat, dan terbukalah jalan dihadapannya menuju prosedur fatwa.[2]
Oleh karena itu, mempelajari qawaid fiqhiyyah merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang menggeluti dunia fiqih, baik pada tatanan khusus maupun umum.
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih ini, antara lain: "Dengan kaidah-kaidah fikih kita tahu hakikat dari fikih, objek bahasan fikih, cara pengambilan fikih dan rahasia-rahasia fikih, menjadi terampil di dalam memahami fikih dan menghadirkan fikih". Sesungguhnya kaidah-kaidah fikih itu menggambarkan nilai-nilai fikih, kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fikih menampakkan pola pikir fikih Islam yang sangat luas dan mendalam dan tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam mengumpulkan fikih dan mengembalikannya kepada akarnya".
Hasbi al-Shiddieqy menyatakan bahwa nilai seorang fakih (ahli hukum Islam) diukur dengan dalam dan dangkalnya dalam kaidah fikih ini, karena di dalam kaidah fikih terkandung rahasia dan hikmah-hikmah fikih". Dari uraian di atas bisa disimpulkan kegunaan kaidah-kaidah fikih antara lain:
a.       Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah fikih kita mengetahui benang merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
b.      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c.       Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d.      Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e.       Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f.       Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
2.      Kedudukan Kaidah Fiqih dalam Hukum Syara’
Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah yang bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-qawaid al-fiqhiyyah yang langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash) dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum.[3]
Kedudukan qawaid fiqhiyah yaitu : sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok yaitu Al Qur’an dan as sunnah. Kaidah fiqih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya. Artinya bahwa ulama sepakat tentang menjadikan kaidah fiqih sebagai dalil pelengkap.
Adapun kedudukan kaidah fiqih dalam konteks studi fiqih adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyah yang begitu banyak. Al syaikh ahmad ibnu al syaikh Muhammad al Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqih ini, maka hukum fiqih yang bersifat furu’iyah akan bercerai berai.”
Dalam konteks studi fiqih, al qurafi menjelaskan bahwa syari’ah mencakup dua hal ; ushul dan furu’. Ushul terdiri dari dua bagian yaitu : (a) Ushul Fiqih, yaitu ushul fiqih yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan. dan, (b) kaidah fiqih yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
Qawaid fiqhiyyah dikategorikan sebagai dalil syar’i yang memungkinkan adanya istinbath hukum-hukum dari nash (Al Qur’an dan Hadits). Sehingga berhujjah dengan qawaid fiqhiyyah merupakan cerminan hujjah dari sumber pengambilannya, yaitu Al Quran dan Sunnah. Misalnya kaidah yang berbunyi :
الْمَشَقَّةُ تَجْلبُ التَّيْسِر
Sumber kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. al-Ḥajj : 78
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para fuqaha berdasarkan hasil istiqra’ mereka terhadap berbagai permasalahn fiqih yang serupa, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai berhujjah dengan kaidah-kaidah fiqih tersebut.
Di antara mereka ada yang tidak menerima kaidah-kaidah tersebut sebagai dasar dalam istinbāt hukum, namun dapat dijadikan sebagai penguat (syāhid) terhadap dalīl syar’ī, sebagaimana perdapat dari Ibnu Farḥūn.
Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai kebolehan  ber-hujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa hal yang merupakan urgensi ilmu al-qawā’id  al-fiqhiyyah, di anataranya adalah:
a.       Dengan kaidah-kaidah fiqh, seorang faqīh dapat menguatkan (ḍabt) berbagai permasalahan dalam wacana fiqh, dan menyusunnya dalam satu konsep, sebab permasalahan-permasalahan fiqh tersebut akan berujung pada hukum dan maksud yang satu/sama.
b.      Seorang faqīh yang dalam memberikan interpretasi senantiasa menggunakan kaidah-kaidah fiqh, maka ia akan mendapati begitu banyak maqāşidu al-tasyrī’ (maksud-maksud penetapan syari’at) beserta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalnya, kaidah al-ḍararu yuzāl dan al-masyaqqatu tajlibu al taysīra, menunjukkan bahwa syari’at Islam yang mudah dan toleran ini memiliki tujuan untuk menolak atau mencegah semua jenis kesulitan dan bahaya.
c.       Kaidah-kaidah fiqh memudahkan para fuqahā’ untuk mengetahui status hukum yang terdapat pada berbagai permasalahan, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap hal-hal yang merupakan titik persamaan dari berbagai permasalahan tersebut. Apabila suatu permasalahan telah ditetapkan hukumnya, maka tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan yang serupa dengannya, yang berasal dari salah satu kaidah dari sekian banyak kaidah-kaidah fiqh.
d.      Kaidah-kaidah fiqh membantu seorang faqīh untuk memperkuat hal-hal yang dijaganya, baik pada cabang-cabang fiqh maupun pada berbagai permasalahannya, dan membantufaqīh untuk mengingatnya, selama ia memperdalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah tersebut.
e.       Kaidah-kaidah fiqh menumbuhkan kemampuan ber-istinbāţpada seorang peneliti terhadap wacana-wacana fiqh, selama ia mempelajari kaidah-kaidah tersebut dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya kaidah-kaidah fiqh memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses interpretasi hukum syari’at, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qarāfī ketika beliau membagi dasar-dasar syari’at, maka beliau menempatkan kaidah-kaidah fiqh yang pokok sebagai dasar syari’at yang kedua setelah uşūl al-fiqh,yang di dalamnya meliputi kaidah-kaidah yang sangat banyak dan sarat makna, tercakup di dalamnya rahasia-rahasia dan hikmah penetapan syari’at yang tak terhitung jumlahnya.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dalam fiqh, yang memiliki banyak manfaat, bahkan penguasaan akan kaidah-kaidah tersebut dijadikan tolak ukur untuk mengetahui derajat dan kemuliaan seorang faqīh, serta menyebabkan metodologi dan konsep dalam berfatwā pun menjadi lebih transparan.

B. Relevansi Konsep Baik (Hasan) dan Buruk (Qobih) dalam Fiqh Kontemporer
Setelah mengetahui bagaimana kedudukan kaidah fiqh dalam hukum syara’ sekarang kita akan mendalami lebih jauh bagaimana sesuatu ditentukan baik maupun buruk yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Apakah apa-apa yang dinilai baik ataupun buruk oleh hukum syara’ adalah sama dengan yang dinilai oleh ‘Akal ? atau hukum syara’ berdiri sendiri ketentuannya atas dasar ketetapan Allah?. Ada beberapa pendapat tentang posisi ‘akal dalam mengetahui baik dan buruk. Setidaknya dalam tulisan ini akan dibahas perbedaan pendapat antara ulama yang dibagi dalam tiga golongan[4]:
Pertama : Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian lain berada antara manfaat dan madharat. Maka menurut pendapat Mu’tazilah sesuatu itu dibagi tiga:
1.      Sesuatu yang baik menurut dzatnya.
2.      Sesuatu yang buruk menurut dzatnya, dan
3.      Sesuatu yang ada diantara keduanya.
Dengan demikian orang Mu’tazilah berpendapat seseorang dapat mengetahui suatu yang baik dan buruk secara esensi meski tanpa panduan dari hukum syara’. Pendapat mereka ini didasarkan atas tiga alasan:
1.      Ada perbuatan yang harus dilakukan oleh orang berakal dan pelakunya akan mendapat pujian (hasan lidzaatih) dan sesuatu yang bila dilakukan akan mendapat cela (qobih lidzaatih). Sebagai contoh yaitu menghina. Orang yang berakal jika disuruh memilih antara jujur dan berbohong, pasti akan memilih jujur.
2.      Baik dan buruk adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahuinya merupakan suatu kepastian tanpa ada perbedaan yang beragama maupun tidak. Seseorang dengan kekuatan akalnya pasti akan mengetahui bahwa adil itu baik dan zholim itu buruk.
3.      Kalaulah ada suatu hal yang secara esensinya tidak mengandung baik dan buruk, maka manusia akan menjadi bingung.
Dari alasan-alasan tersebut, timbullah tiga konsekuensi logis sebagai berikut[5]:
a.       Bahwa ahli Fatrah serta orang-orang yang belum dijangkau atau belum mengetahui hukum syara’ dituntut melakukan apa yang baik dan buruk menurut dzatnya.
b.      Apabila tidak ada nash maka seseorang dengan petunjuk akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu yang baik dan buruk menurut dzatnya serta kelak akan diperhitungkan.
c.       Bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya.
Profesor Mukhtar Yahya dan Doktor Fathur Rahman mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah berpendapat perbuatan seorang mukallaf dihukumi baik dan buruk berdasarkan tiga hal[6]:
1.      Ditetapkan oleh akal secara dhoruri, yakni untuk mengetahui baik atau buruknya tidak perlu memakai penelitian. Seperti memberi derma kepada orang yang membutuhkan.
2.      Ditetapkan akal secara nazhori, yakni diperlukan pemikiran yang mendalam. Seperti berbohong untuk kebaikan.
3.      Ditetapkan secara sama’i, yakni sesuatu yang dipandang baik dan buruk karena ketetapan nash. Seperti shalat , puasa, haji dll.
Kedua, pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh ulama Hanafiah. Dalam hal pembagian sesuatu perbuatan sama golongan ini sama dengan golongan Mu’tazilah. Namun, setelah itu mereka berbeda pendapat. Kaum Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) yang diputuskan hanya berdasarkan akal saja. Sesungguhnya keputusan taklif, pahala maupun dosa tergantung pada ketentuan nash.
Sementara itu Prof. Muhammad Abu Zahrah menuliskan dalam bukunya, imam Asy-Syaukani berpendapat dalam karyanya Irsyadul-Fuhul bahwa, mengingkari kemampuan akal dapat menilai baik dan buruk adalah kesombongan dan kebohongan. Sedangkan orang yang mengakui akal yang menilai perbuatan baik itu mendapat pahala dan perbuatan buruk mendapat dosa, dia bukanlah seorang muslim[7]. Kemampuan final akal hanyalah mengetahui bahwa yang baik akan mendapat pujian dan yang buruk akan mendapat hinaan.
Ketiga, pendapat golongan Asy’ariyah yang dipegang oleh jumhur ulama, yang berpendapat sesuatu dipandang baik dan buruk dikarenakan kehendak Allah dalam aturan syara’. Oleh karena itu, apa yang Ia perintahkan adalah baik, dan apa yang Ia larang adalah buruk. Pendapat golongan Asy’ariyah ini berbeda dengan dua pendapat sebelumnya. Golongan ini berpendapat bahwa tiada sesuatu apapun yang baik dan buruk menurut dzatnya dan juga tak ada taklif kecuali dari syari’at Allah semata[8].
Maka, seseorang tidak akan dibebani hukum melakukan maupun meninggalkan sesuatu kecuali ia telah mendapat da’wah dari Rasul atau mendapat ketetapan dari syari’at. Mereka menguatkan pendapat[9] mereka dengan firman Allah surah al-Isra ayat 15:
وَمَاكُنَّامُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Dan Kami tidak akan meng-adzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Berlandaskan pendapat-pendapat diatas maka keterkaitan/ relevansi baik dan buruk dalam melakukan ijtihad adalah keharusan ijtihad berdasarkan nash terlebih dahulu kemudian dikuatkan dengan pemahaman ‘akal yang pada dasanya akan kembali pada maqasid syari’ah/ tujuan adanya syari’at yakni kemaslahatan.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, dimana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu. Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita[10].
Dalam hal ini berdasarkan karya Syekh Yusuf Qardhawi ada tiga macam Ijtihad Kontemporer yakni pertama Ijtihad Intiqa’i/Tarjih, kedua Ijtihad Insya’i, dan ketiga integrasi (percampuran) antara keduanya.
1. Ijtihad Intiqa’i/Tarjih
Yang dimaksud Ijtihad al-Intiqa’i adalah memilih salah satu dari beberapa pendapat yang terdapat dari beberapa khazanah fiqh Islam, baik dalam formulasi fatwa atau keputusan hakim, dengan menggunakan instrument eksplanasi untuk mengambil beberapa pendapat tersebut. Dalam konteks ini, ketika seorang faqih berhadapan dengan beberapa fatwa dalam suatu masalah, maka ia mesti melakukan seleksi terhadap pendapat-pendapat tersebut, apakah formulasi dalil yang digunakan berasal dari nash atau interpretasi terhadap nash. Kemudian dilakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang terkuat sesuai dengan realita, dalam kerangka al-Maqashid al-Syariyyah, dengan tetap mempertimbangkan kepentingan publik dan menghindari Mafsadah.
Adapun kriteria yang digunakan untuk melakukan tarjih, menurut al-Qardhawi seperti berikut:
1.            Mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang
2.            Lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara‟
3.            Untuk kemaslahatan manusia
4.            Menolak bahaya
            Selanjutnya, Syekh al-Qardhawi menambahkan bahwa kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi berbagai pendapat ijtihad para shahabat, tabi’in dan ulama dari bermacam madzhab, beraliran sunni (ahli al-sunnah wa al-jama’ah), dan juga meneliti pendapat-pendapat dari ulama syi’ah al-zaidiyah dan imamiyah. Jadi, sifatnya lintas madzhab, karena semua hasil ijtihad dari berbagai mazhab terdahulu menempati pada posisi yang sejajar.
            Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut al-Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.
2. Ijtihad Insya’i
            Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan konkluse hukum dari suatu persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, karena memang belum muncul waktu itu. Atau dalam masalah lama, tetapi mujtahid kontemporer mempunyai pendapat baru dalam masalah itu, karena belum ditemukan didalam pendapat ulama terdahulu. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya.
            Mengenai ijtihad insya’i ini, al-Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil berdo’a semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.
3. Integrasi antara Ijtihad Intiqai dan Insyai
Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru[11].

C.     Prioritas Kesadaran Dalam Menghadapi Problematika Fiqh Kontemporer[12]
Dalam pembahasan prioritas kesadaran dalam menghadapi permasalah kontemporer ini kami mengambil dari pendapat Yusuf Qardhawi. Sebelumnya beliau mempergunakan istilah lain dalam bukunya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan pekerjaan (fiqh maratib al-a'mal).
 Yang dimaksud dengan istilah tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, dan diterangi oleh akal. Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.
Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.
D.    Contoh kasus kontemporer Qawaidh Fiqhiyyah
1.      Mudharabah
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan rugi ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.[13]
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada:
a)      Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya (deposito biasa).
b)      Deposito spesial (special investment), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
a)      Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b)      Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus dengan penyalurang yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.
Sedangkan praktik tabungan mudharabah di perbankan syariah adalah sebagai berikut:
a)      Tabungan mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian.
b)      Bank syariah bertindak sebagai mudharib dan deposan sebagai shahibul mal.
c)      Bank sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada shahib al mal sesuai nisbah yang disetujui.
Adapun tabungan investasi bagi hasil mudharabah, filosofi dan sifatnya adalah sebagai berikut:
a)      Filsafat dasar dari investasi mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour (skill dan entrepreneurship) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional karena memang sistem tersbut diciptakan untuk menunjang mereka yang memiliki modal.
b)      Dalam investasi mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan serta keadilan. Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung kerugian yang dialami proyek dan membagi keuntungan.
Kaidah fikih yang digunakan dalam menetapkan hukum aplikasi mudharabah pada perbankan syariah, antara lain:
الأَصْلُ فِي المُعَامَللاَتِ الاِبَاحَةُ إِلاَّ اَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَي تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilaksanakan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
المُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْتِهِمْ
Orang-orang Islam sesuai dengan syarat-syarat yang mereka tetapkan.
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الحِلُّ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ مَضَرَّةٌ
Pada dasarnya, segala sesuatu halal (boleh) dilaksanakan, kecuali ada mudharat (bahaya) dalam pelaksanaannya.
الأَصْلُ فِي المَنَافِعِ الحِلُّ وَ فِي المَضَارِّ التّحْرِيْمُ
Pada dasarnya, semua yang bermanfaat halal (boleh) dilaksanakan dan semua yang mendatangkan mudharat (bahaya) haram dilaksanakan.
Berdasarkan kaidah-kaidah fikih di atas, praktik mudharabah yang diaplikasikan pada perbankan syariah di Indonesia, baik sebagai tabungan mudharabah, maupun sebagai tabungan investasi mudharabah (deposito mudharabah) dan penentuan nisbah bagi hasilnya ketika akan ditanda tangani akadnya, adalah dibolehkan karena sesuai prinsip syariah.[14]

2.      Wadi’ah
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan wadi’ah untuk tujuan:
a.       Current account (giro)
b.      Saving account (tabungan wadi’ah)
Sebagai konsekuensi dari wadi’ah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartannya.
Demikian dikarenakan wadi’ah dapat dialihkan sebagai qardh (pinjaman), bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut sebagai qardh, tidak dilarang untuk memberikan semacam intensif berupa bonus, dengan catatan tidak diisyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal ataupun persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini dibolehkan sesuai dengan kaidah fikih:
الأَصْلُ فِي المُعَامَللاَتِ الاِبَاحَةُ إِلاَّ اَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَي تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilaksanakan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
كُلُّ قَرْدٍ اشْتُرِطَ فِيْهِ النَّفْعُ مُقَدَّمًا فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang disyaratkan padanya manfaat (jasa) pada awal (ketika akad), maka hukumnya sama dengan riba.
Konsep wadi’ah dalam fikih dipraktikkan pada bank-bank syariah di Indonesia, di antaranya dalam bentuk tabungan. Tabungan yang menerapkan akad wadi’ah ini mengikuti prinsip dan hukum qardh (pinjaman kebajikan dan lunak). Artinya, tabungan ini tidak mendapatkan keuntungan yang dipersyaratkan, karena itu titipan dapat diambil sewaktu-waktu.
Pada prinsipnya, wadi’ah merupakan akad yang bersifat tolong-menolong antar sesama manusia tanpa ada imbalan jasa dan tidak boleh dimanfaatkan. Tapi, karena akad wadi’ah ini mengikuti prinsip qardh, maka implikasi hukumnya menjadi sama dengan qardh. Agar wadi’ah tersebut dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh bank, maka akadnya dialihkan menjadi akad qardh, yang disebut tawwahul al’aqd. Dengan demikian, bank boleh memanfaatkan dana titipan, kemudian dari keuntungannya dapat diberikan sebagai bonus pada nasabah, yang tidak dijanjikan dari awal.
Pada zaman modern ini, dana wadi’ah yang dititipkan nasabah kepada bank tidak mungkin hanya diendapkan tanpa dimanfaatkan/dikelola oleh bank. Agar bermanfaat bagi pihak bank ataupun nasabah, dana titipan harus dikelola dan dimanfaatkan. Peralihan akad tersebut dibolehkan berdasarkan kaidah fikih:

إِعْمَالُ الكَلاَمِ أَوْلَي مِنْ إِهْمَالِهِ
Melaksanakan ucapan lebih utama (lebih baik) daripada mengabaikannya.
Kaidah-kaidah fikih yang digunakan dalam menetapkan aplikasi wadi’ah pada perbankan syariah:
الأَصْلُ فِي المُعَامَللاَتِ الاِبَاحَةُ إِلاَّ اَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَي تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilaksanakan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
العِبْرَةَ فِي العُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي لاَ لِلأَفَاظِ والمَبَانِي
Penilaian pada semua bentuk akad berdasarkan tujuan dan maknanya, bukan berdasarkan lafazh dan bentuknya.
إِعْمَالُ الكَلاَمِ أَوْلَي مِنْ إِهْمَالِهِ
Melaksanakan ucapan lebih utama (lebih baik) daripada mengabaikannya.
كُلُّ قَرْدٍ اشْتُرِطَ فِيْهِ النَّفْعُ مُقَدَّمًا فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang disyaratkan padanya manfaat (jasa) pada awal (ketika akad), maka hukumnya sama dengan riba.
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.
الأَصْلُ فِي المَنَافِعِ الحِلُّ وَفِي المَضَارِّ التَّحْرِيْمُ
Pada dasarnya, semua yang bermanfaat halal (boleh), demikian pula saling membahayakan (merugikan), haram.
Berdasarkan kaidah-kaidah fikih tersebut, maka praktik wadi’ah yang dilaksanakan pada perbankan syariah di Indonesia, baik dari segi pengumpukan dana, pemanfaatannya dan pemberian bonus kepada nasabah yang tidak diisyaratkan pada awal transaksi adalah boleh.
Wadi’ah dapat mendatangkan maslahat bagi nasabah, di mana uangnya atau barangnya terjamin keamanannya. Sedangkan pihak bank memperoleh dana/modal untuk dikembangkan, dan mendapat keuntungan dari pengelolaan dana tersebut. Praktik wadi’ah tersebut sesuai dengan prinsip syariah Islam, di mana tujuan syariah Islam adalah untuk kemaslahatan.[15]
3.      Makanan Yang Tidak Diketahui Halal Haramnya
Di Indonesia, kebanyakan makanan yang diproduksi oleh suatu perusahaan dinyatakan halal jika terdapat label halal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga swadaya masyarakat ini memang berperan membimbing kaum muslim di Indonesia, salah satunya menyeleksi makanan berbahan haram.
Faktanya, tidak semua makanan yang beredar di pasaran berlabel halal MUI. Tapi, makanan yang tidak berlabel halal MUI itu juga tidak dapat dikatakan sebagai makanan haram jika tidak terbukti mengandung bahan haram. Dan jika seseorang memakan makanan yang tidak diketahui halal haramnya, maka apakah disebut syubhat?. Tentu jawabannya adalah belum tentu, karena pada asalnya kebanyakan dari produk makanan atau minuman yang belum diberi label halal itu berbahan dasar bahan-bahan yang halal.
Contoh Aktualisasi Metode Ijtihad Kontemporer dalam kitab “al-Fatawa al-Muashirah” karya Syekh Yusuf Qardhawi[16]. Sebagai berikut:
1.      Bidang Ibadah
Tentang keharaman berjabat dengan lawan jenis
            Syekh Qardhawi menetapkan bahwa hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan, adalah:
1. Dibolehkan bila tidak disertai dengan syahwat dan tidak menimbulkan fitnah. Akan tetapi, apabila dikhawatirkan akan terjadi fitnah terhadap salah satunya atau keduanya atau disertai syahwat dan bersenang-senang (taladzdzudz), maka berjabat tangan antara lawan jenis keharamannya tidak diragukan lagi. Sebaliknya, apabila kedua syarat – yaitu tidak ada syahwat dan aman dari fitnah – tidak terpenuhi, meskipun berjabat tangan itu antara seseorang dengan mahramnya, maka pada kondisi seperti itu hukumnya adalah haram. Begitu juga terhadap anak kecil, jika kedua syarat itu tidak terpenuhi hukumnya tetap haram.
2. Diperbolehkan berjabat tangan hanya sebatas kebutuhan, yaitu dengan karib kerabat yang dekat atau semenda yang terjadi hubungan erat dan akrab di antara mereka, serta tidak menimbulkan syahwat dan fitnah.
Kaidah yang sesuai:
الاموربمقاصدها
2.      Bidang Mu’amalah
Tentang Bank Air Susu Ibu (ASI) dan keharaman menikah
            Dalam hal ini, Syekh Qardhawi berpendapat – kalaulah illat-nya karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara bagaimanapun, maka transfusi darah seorang wanita kepada seorang anak tentu menyebabkan wanita itu haram kawin dengan anak tersebut. Sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat prosesnya dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Oleh karena itu, ‘illat logis yang dapat dijadikan alasan haramnya nikah antara anak dengan ibu susunya atau antara sesama saudara sepersusuan adalah karena al-ummah al-murdhi’ah (keibuan yang menyusukan).
Kaidah yang sesuai:
الأصل فى المعاملة الإباحة الا ان يكون الدليل على تحريمها

3.      Bidang Jinayat
 Tentang Kawin Paksa
Dalam hal ini, Syekh Qardhawi memilih pendapat jumhur ulama Salaf, mazhab Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya, yaitu melarang anak gadis yang sudah dewasa dipaksa untuk dinikahkan, kecuali dengan meminta persetujuannya terlebih dahulu. Berdasarkan sejumlah hadits shahih dan juga kesepakatan (ijma’) para ulama terdahulu, qawa’id al-syari’ah, dan juga sesuai maqashid syari’ah, yaitu mewujudkan kemaslahatan umat.
Kaidah yang sesuai:
لاضرار ولاضرار
4.      Bidang Munakahat

Tentang Aborsi Korban Perkosaan
Syekh Qardhawi berpendapat haram melakukan aborsi ketika bertemunya sperma dengan indung telur, dan menghasilkan makhluk dalam bentuk baru yang menetap di dalam rahim, walaupun janin belum berumur 120 hari, kecuali karena kondisi darurat yang mu’tabar (akurat), maka tidak ada halangan menerapkan salah satu dari dua pendapat di atas (apakah pendapat yang mengatakan boleh aborsi sebelum 40 atau 42 hari dan sebelum 120 hari).
Kaidah yang sesuai:
الضرورات تبيح المحظورات
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dalam menghadapi segala macam kasus-kasus baru yang muncul pada saat ini. Maka, seorang muslim harus mengedepankan menurut apa-apa yang dipandang oleh syari’ah terlebih dahulu. Dalam hal ini kaidah fiqh yang merupakan hasil ijthad sebagaimana yang kita ketahui memiliki hirarki dibawah nash. Sehingga jika suatu masalah dikaitkan dengan suatu kaidah fiqh pada penentuan finalnya harus tetap berdasarkan apa yang tertuang dalam nash.
























DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Cetakan ke-16, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2012.
al-Qardhawi, Yusuf, e-book Fiqh Prioritas.
Hidayatullah, Syarif. Qawai’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan                                     Syari’ah Kontemporer, (Depok; Gramata Publishing, 2012).
Hidayatullah, Reza “Terapan kaidah fiqih pada fiqih kontemporer”. Academia.edu, 2015.
http://www.stainkerinci.ac.id/sites/default/files/Makalah%20Yusuf%20Qadhawi%20S3.pdf
Muhamad, Nasheer Farid Qawaid fiqhiyah, (Jakarta: AMZAH, 2013) .
Yahya, Mukhtar, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Cetakan-1,   Bandung: Al-Ma’arif, 1986.



[1] Reza Hidayatullah, Terapan kaidah fiqih pada fiqih kontemporer”. Academia.edu, 2015, hlm. 5
[2] Nasheer Farid Muhamad, Qawaid fiqhiyah, (Jakarta: AMZAH, 2013) hlm. 5
[3] Reza Hidayatullah, Op. Cit. hlm. 6
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cetakan ke-16, Jakarta: PT Pustaka Firdaus 2012, hlm. 89
[5] Ibid. hlm. 91
[6] Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Cetakan-1, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 159-160
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cetakan ke-16, Jakarta: PT Pustaka Firdaus 2012, hlm. 92
[8] Ibid, hlm. 93
[9] Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Cetakan-1, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, hlm. 159
[10] Yusuf Qardhawi, E-Book Fiqh Prioritas.
[12] Yusuf al-Qardhawi, e-book Fiqh Prioritas
[13] Syarif Hidayatullah, Qawai’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Depok; Gramata Publishing, 2012). Hlm. 104
[14] Syarif Hidayatullah, Qawai’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Depok; Gramata Publishing, 2012). Hlm. 113-116
[15] Syarif Hidayatullah, Qawai’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Depok; Gramata Publishing, 2012). Hlm. 97-102

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Tajwid

kumpulan lagu anak (Islami)

Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam Kontemporer